Berdasarkan pengalaman sejak berakhirnya PD II, peranan kekuatan udara (air power) secara fundamental banyak merubah secara drastis penggunaan senjata bagi operasi militer. Operasi Black Tuesday dalam Perang Korea 1951, operasi El Mansoura, operasi Lembah Beqaa, dan perang Yom Kippur adalah sedikit contoh pentingnya kekuatan udara dalam perang. Karakteristik kekuatan udara berbeda dengan matra lain, kekuatan udara identik dengan kecepatan, ketinggian, penetrasi, jarak jangkau, fleksibilitas, dan radius aksi serta daya hancur. Semua variable tersebut berkaitan erat dengan teknologi yang bekerja dalam sebuah sistem persenjataan angkatan udara. Kemampuan angkatan udara akan bertambah efektifitasnya apabila didukung oleh kekuatan laut dan darat.
Dari aspek geografis, bentang Indonesia dari Papua ke Aceh sama dengan 3 zone waktu, ekuivalen dengan luas wilayah Eropa, dari Moskow ke Dublin (barat ke timur) dan dari Berlin ke Roma (utara ke selatan). Indonesia dengan landscape yang demikian luas membutuhkan kekuatan angkatan udara yang mumpuni untuk mengatasi potensi ancaman. Kekuatan atau superioritas di udara, akan memberikan dampak signifikan dari sudut pandang militer, politik, dan diplomasi.
Oleh karena itu kekuatan TNI Angkatan Udara harus kembali mampu memiliki supremasi sebagaimana era terdahulu. Kedatangan Rafale dan F-15 Eagle diharapkan menjadi momentum reinkarnasi kejayaan kekuatan udara nasional kita. Kita harus mampu menempatkan keunggulan di udara yang menjadi tujuan utama TNI Angkatan Udara. Kemampuan penetrasi kekuatan udara secara cepat menjadi titik tumpu pendadakan oleh karena itu kita tidak boleh lupa dengan apa yang pernah dikatakan oleh seorang ahli strategi kekuatan udara Italia, General Giulio Douhet “merebut kekuasaan udara berarti kemenangan, tersingkir dari udara berarti kekalahan dan harus rela menerima atas apapun yang mungkin ditimpakan oleh musuh.