Demikian pula dengan orang tua Andi Maradang. Ayahnya mewarisi sifat kakeknya yang memilih hidup sederhana. Baginya, kemuliaan tidak diukur dengan limpahan harta dan takhta. Oleh karena prinsip itulah maka Andi Maradang mengaku tidak disiapkan oleh orang tuanya untuk menjadi seorang “bangsawan”. Lebih-lebih lagi untuk memangku jabatan Datu Luwu.
“Orangtua saya sangat moderat. Ia tidak membentuk kami menjadi bangsawan, birokrat, apalagi berharap menjadi Datu di Luwu. Bahkan dalam urusan pernikahan-pun, kami dibebaskan untuk menikah dengan sia-pa saja. Beliau hanya menyaratkan untuk tidak berbeda agama. Jadilah saya mempersunting wanita Yogyakarta pada tahun 1983,” kata Andi Maradang.
Tahun 1969, ayahnya mengirim Andi Maradang ke Jakarta. Alasannya, orang tuanya adalah untuk menghindari Andi Maradang bersaudara dari
“keinginan-keinginan kekuasaan dan harta,” sekaitan gelar kebangsawanan yang mereka miliki. Menurut Datu Luwu yang memiliki tiga putri dan dua putra ini, ayahnya berpesan agar sekali-sekali tidak meminta kekuasaan
dan jabatan di Kedatuan Luwu. “Tetapi kalau diserahi amanah itu, silahkan laksanakan dengan baik dan profesional,” katanya berkisah.
Ketika awal-awal memulai hidup di Jakarta, Andi Maradang dititipkan di rumah kerabatnya. Tamat dari SMA, Andi Maradang masuk di Institut Pariwisata Indonesia Yogyakarta dan selesai tahun 1979. Setelah itu, ia masuk Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan meraih gelar Sarjana Hukum-nya tahun 1983.
Pengalaman hidup di Yogyakarta inilah yang kemudian memberikan inspirasi kepadanya untuk kembali mengkaji kebudayaan Luwu. Ia berpandangan bahwa nilai-nilai kebudayaan Luwu tidak kalah agungnya dengan kebudayaan Jawa. Andi Maradang meyakini bahwa kebudayaan Luwu saat ini tidaklah hilang dan punah, melainkan hanya tidak dipraktikkan di dalam keseluruhan sikap masyarakat Luwu.