“Media dan globalisasi yang membawa budaya populer, memang menjadi tantangan. Namun itu bukanlah alasan yang dapat mengonfirmasi bahwa kita harus kehilangan karakter dan identitas sebagai Wijanna Luwu. Karena pengalaman saya di daerah lain seperti Yogyakarta,
ternyata mereka sanggup survive dengan adat dan kebudayaannya.
Demikian pula dengan negara-negara monarki lain seperti Jepang dan Malaysia. Identitasnya masih sangat genuine karena nilai-nilai luhurnya selalu dipraktikkan,” jelas Datu Luwu yang gemar memancing ini.
Andi Maradang Mackulau dalam pelbagai kesempatan, kerap menyampaikan kesedihannya atas tidak dipraktikkannya nilai-nilai dan tatanan luhur kebudayaan Luwu. Ia mencontohkan bahwa insiden pembakaran yang
terjadi dua kali selama tahun 2013 di Kota Palopo, merupakan antitesis dari nilai-nilai budaya Luwu yang menjunjung tinggi kemuliaan pribadi.
“Salah satu langkah konkret menjaga kemuliaan orang Luwu adalah jikalau ada keinginan, jangan dilakukan dengan cara anarkis. Kota Palopo yang terbakar pada 23 Januari 1946 beda konteksnya dengan insiden pembakaran yang terjadi pada 2013. Perjuangan 23 Januari 1946 adalah antiklimaks perjuangan Andi Djemma membela harga diri rakyat Luwu, dan bangsa Indonesia yang diinjak-injak oleh penjajah, bukan harga diri
secara pribadi,” kata Andi Maradang.
Datu Luwu XL ini menilai bahwa perjuangan mengangkat kembali nilai-nilai luhur memang belum selesai dan harus dimulai dari istana. “Saya sudah tegaskan kepada kerabat-kerabat istana, bahwa nilai luhur kebudayaan kita harus dimulai dari istana. Oleh karena itu, istana terbuka untuk dikritik.