Adilkah, Memperdagangkan Kekuasaan di Tengah Kesusahan Rakyat?

  • Bagikan

Di bidang kesehatan pandemi yang belum berakhir dan biaya kesehatan yang makin mencekik. Di bidang pendidikan kurikulum yang berubah-ubah dan mahalnya biaya bersekolah-berkuliah serta sistem zonasi yang belum jelas hasilnya. Belum lagi, harga pangan yang langkah dan mahal. Sedangkan sosial angka pelecehan seksual masih meningkat, pengangguran masih menjadi problem, kekerasan, KDRT, angka kriminal dkk. Belum lagi utang Indonesia makin membengkak dari tahun ke tahun. Seyogianya ini yang menjadi perhatian khusus.

Sebagaimana diberitakan Kompas.com pada Jumat (27/5/2022), jumlah utang luar negeri Indonesia pada akhir triwulan I 2022 tercatat sebesar 411,5 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 6.033 triliun (kurs Rp 14.661 per dollar AS).

Kita seharusnya berkaca dengan Sri Lanka yang dinyatakan bangkrut gara-gara utang.
Persoalan utang memang dihadapi oleh banyak negara, apakah Indonesia bakal senasib dengan Sri Lanka? Semoga saja tidak! Fakta yang mencengangkan menurut Sekretaris Menteri Negara BUMN Muhammad Said Didu mengatakan sebanyak 85 persen saham BUMN yang sudah melantai di bursa dikuasai oleh asing (Tempo.co, 23/2/2006). Lantas apakakabar BUMN tahun 2022?

Dengan semua kejadian/fakta tersebut di atas, pantaskah memperdagangkan (memanfaatkan) kekuasaan disaat rakyat kesusahan? Apapun alasannya jawabannya sangat tidak pantas.

Potret politik anggaran Pemerintah (APBN) ini jika ditinjau dari sisi dampak bagi kesejahteraan rakyat tentu masih jauh dari optimal. Meskipun demikian, persoalan mendasar bukan semata pada tidak efektif dan efisiennnya pengelolaan anggaran. Bagi sebagian orang persoalan ini bisa diselesaikan dengan memperbaiki kualitas penerimaan dan belanja agar menjadi lebih efektif sembari meminimalkan kebocoran terutama akibat korupsi.

  • Bagikan