Mengulas Tindak Tutur Provokatif dalam “Dirty Vote”: Analisis Linguistik Forensik

  • Bagikan

Sementara itu, Pasal 161 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan yang menghasut untuk melakukan perbuatan pidana, menentang penguasa umum dengan kekerasan, atau menentang sesuatu hal lain seperti yang disebutkan dalam pasal di atas, dengan maksud agar isi yang menghasut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, akan diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

Berbagai narasi, terutama di Opening dan Closing memang memiliki elemen yang dapat diinterpretasikan sebagai tindak tutur provokatif, terutama dalam konteks menghasut atau memprovokasi reaksi terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam kecurangan pemilu . Meskipun tidak secara eksplisit mengajak pendengar untuk melakukan tindakan tertentu terhadap oknum-oknum tersebut, penyampaian informasi tentang kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif, serta penekanan pada keterlibatan pihak-pihak berkuasa, dapat membangkitkan kesadaran dan kemungkinan reaksi kritis atau tindakan dari pendengar.

Secara semantik, narasi ini mengandung informasi tentang praktik kecurangan dalam pemilu yang melibatkan kolaborasi antara berbagai pihak berkuasa. Secara pragmatik, narasi ini bertujuan untuk pembangun kesadaran kritis dan mungkin memprovokasi tindakan atau reaksi terhadap praktik tersebut. Indikasi provokasi terhadap oknum tertentu terlihat dalam cara narasi.

Secara umum, untuk menentukan kelayakan hukuman, perlu dilakukan evaluasi terhadap konten ujaran, konteksnya, dan dampak yang dihasilkan, dengan mempertimbangkan norma-norma hukum yang berlaku . Tanpa informasi spesifik tentang isi ulasan dan konteks hukum yang relevan, sulit untuk memberikan penilaian definitif mengenai apakah narasi film "Dirty Votes" dapat dikenai hukuman sebagai tindakan provokatif.

  • Bagikan