Utilitas IKA Unhas, Antara Jualan Pribadi dan Organisasi

  • Bagikan
Mulawarman

Dalam konsep utilitarianisme, siasat menggunakan IKA Unhas untuk kepentingan kekuasaan sebetulnya tidak ada yang salah, bahkan boleh jadi menjadi standar keberhasilan. Ukurannya: sejauh menjadi jalan kemanfaatan bagi kepentingan sebanyak mungkin alumninya. Bukan untuk Ketumnya seorang dan segelintir alumni atau segelintir penikmat.

Greatest happiness for the greatest number, begitulah adagium utilitarianis. Secara tidak langsung bisa berarti bahwa kedudukan leadership IKA Unhas diukur sejauhmana dia mampu memberikan kemanfaatan bagi mayoritas alumni.

Dengan demikian, Ketum IKA Unhas harusnya bisa menempatkan jaringan alumninya di sejumlah kementerian, perusahaan BUMN, bahkan hingga mengantarkan jadi menteri atau wakil presiden. Artinya, bukan untuk diri sendiri atau kelompoknya. Sebuah kesalahan besar bila ada pejabat negara yang terpilih dari hasil ‘jualan’ IKA Unhas, nyatanya setelahnya dia lupa pada para alumninya.

Fleksibilitas Kepemimpinan

Untuk saat ini, maka saya kira penting meletakan IKA Unhas dalam konteks yang lebih fleksibel dengan apapun keadaannya. Dalam artian, kita tidak perlu apriori juga, seakan bersuara seperti kaum moralis, menganggap IKA Unhas harus steril dari berbagai kepentingan kelompok atau golongan.

Seyakinnya-yakinnya penulis, siapapun Ketum IKA Unhas yang terpilih di Mubes IKA Unhas 2022 ini, baik itu Andi Amran Sulaiman, Syahrul Yasin Limpo, Haedar A Karim atau Suaib Mappasila dan Nikmatullah yang jadi kuda hitam di kontekstasi Ketua IKA Unhas ini, akan menggunakan IKA Unhas untuk ragam kepentingannya. Apakah untuk Pilkada atau dukungan Pemilu 2024 mendatang. Agar jadi Wapres, Menteri, Dirjen, Direksi atau Komisaris BUMN atau dapat yang lainnya.

  • Bagikan