FAJAR.CO.ID, WATAMPONE -- Revisi Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus terkoneksi dengan peta rawan bencana. Sebab, Bone merupakan daerah yang rawan bencana.
Dalam data BPBD Bone Kecamatan Libureng, Kahu, Kajuara yang hampir tiap tahun menjadi langganan angin puting beliung. Sedangkan daerah sepanjang DAS Walanae serta daerah yang memiliki pegunungan dan ancaman longsor seperti Bontocani, Ponre, dan Tellu Limpoe.
Kalaksa BPBD Bone, Dray Vibrianto menjelaskan, masing-masing kecamatan, desa dan kelurahan memiliki karakter rawan bencana. Kalau yang berada di daerah patahan harus konstruksi bangunannya antigempa, di daerah rawan longsor RTRW harus mengadopsi yang mana batasan untuk kawasan hutan lindung.
"RTRW harus terkoneksi dengan RTRW setiap daerah. Karena sudah ada aturan daerah aliran sungai tidak boleh ada bangunan. Dikhawatirkan ada erupsi atau abrasi," katanya Selasa, 26 Januari.
Kata dia, Bone merupakan ujung dari patahan palu koro. Jadi bangunan didesain rawan gempa. Termasuk untuk kualitas bangunan publik. "Itu yang harus menjadi pedoman dari BNPB. Memang lebih mahal biayanya, tetapi kita sudah harus melakukan antisipasi dari sekarang," tambahnya.
Ketua Komisi 1 DPRD Bone, Saipullah Latif Manyala menerangkan, revisi RTRW ini sangat urgen karena muatannya sangat strategis. "RTRW inilah peraturan daerah yang sangat dibutuhkan masyarakat. Tidak menutup kemungkinan kalau rancangannya tidak diseriusi bisa terjadi aspirasi yang menjadi preseden buruk bagi pemerintah dan lembaga," ucapnya.